Supir Truk, Candi Singhasari dan Gunung Kawi   1 comment

Laporan Perjalanan ODTW Jateng-Jatim-Jogja (hari-2)

Dan Supir Truk lah Yang Merusaknya.
Matahari belum lagi mengintip, namun sebentar lagi waktu subuh berakhir. Tapi mengapa bis kami tidak bergerak sama sekali? Saya pun langsung turun dari bis ketika terbangun dan melihat Pak Supir dan kernetnya tidak berada di posisi masing-masing. “Gila! Ini sih bukannya macet, tapi parkir.”kata saya dalam hati ketika melihat deretan bis, truk dan kenderaan lainnya yang memanjang ratusan meter ke depan dan ke belakang bis kami. Beberapa orang dari rombongan kami juga ikut keluar dari bis, untuk mencari tempat buang air kecil atau sholat subuh. Ada Mushola di seberang kanan jalan, tapi tidak ada toiletnya dan pintu ke ruang sholat pun terkunci. Akhirnya saya sholat di pelatarannya yang rada berdebu. Sementara teman-teman yang lain hilang entah ke mana mencari alternatif lain.

Tak berapa lama Pak Dede, Supir bis kami datang. Ternyata dia jalan ke depan mencari tahu apa yang menyebabkan macet yang menyebalkan ini. Dan aneh bin ajaib, baru kali ini saya tahu kalau macet di jalur ini disebabkan oleh supir-supir truk yang tertidur. Mungkin karena capek menunggu macet, mereka mematikan mesin truknya dan tanpa sadar langsung tertidur. Dan ketika kemacetan di depannya sudah berjalan, tetap saja dia tertidur dan menjadi penghalang kenderaan di belakangnya.

“Ini sering terjadi Pak, di jalur-jalur seperti ini dan jam-jam ngantuk kayak gini.”Kata Pak Dede berusaha menjelaskan kepada saya. Kalau di hitung-hitung total waktu kami kena macet antara Lasem dan Tuban kurang lebih 3 jam. Oh oh oh, sungguh terlalu. Bayangkan, kami baru memasuki pintu gerbang Jawa Timur ke arah Tuban pukul tujuh padahal kalau mengikuti jadwal kami seharusnya sudah berada di jembatan SURAMADU sebagai objek yang harus kami kunjungi mengawali hari ke-2 perjalan kami. Namun, pelajaran tentang keluwesan mengatur jadwal menjadi santapan kami lagi, bahwa “Pemandu hanya bisa berencana,dan supir truk lah yang
merusaknya.” (ha ha ha).

Beberapa ratus meter setelah melewati gerbang selamat datang, bis langsung mampir di rumah makan. Semua peserta pun sibuk dengan urusannya masing-masing, dan kebanyakan langsung menyerbu toilet yang tersedia. Antrian pun memanjang. Untungnya saya sudah menyelesaikan urusan yang satu itu di Masjid pinggir jalan sewaktu macet tadi, makanya saya langsung ikut ngantri bersama dosen pembimbing yang lain untuk sarapan pagi. Terbiasa makan dalam waktu singkat membuat saya punya waktu luang untuk mencari kamar mandi. Ternyata antrian masih panjang. Harus cari akal. Saya pun melihat-lihat daerah sekitar, dan… di seberang jalan sana ada mushola. “Kita ke sana!” kata saya kepada dua orang mahasiswa yang belum kebagian ke toilet. Dan, keberuntungan ada di pihak kami. Mushola itu memang disediakan untuk para rombongan yang mampir makan di restoran yang ada di sekitarnya, dan tersedia kurang lebih 5 kamar mandi yang kosong. Kami pun langsung masuk ke kamar mandi masing-masing. Melihat air yang cukup banyak di bak mandi, tanpa pikir panjang saya pun langsung mandi. Dan ternyata saya sendiri yang berhasil mandi pagi itu.

Candi Singhasari

Usai beristirahat bis bergerak lagi. Sebelumnya Tim pemandu sudah berembuk dan terpaksa membatalkan kunjungan ke jembatan SURAMADU, mengingat jadwal ke objek lainnya bisa terganggu kalau harus kaku dengan jadwal. Kami pun langsung menuju kota Malang, melewati Tol Porong Sidoarjo yang terkenal karena semburan lumpurnya. Lagi-lagi kemacetan yang kami temui di sepanjang tol. Selain karena jalannya yang rusak, bendungan lumpur yang cukup tinggi yang berada di samping kiri kami benar-benar menjadi ‘objek wisata bencana’ yang banyak disinggahi.

Pukul setengah tiga sore kami pun tiba di komplek Candi Singhasari, sebuah candi Hindu-Budha peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Kini giliran Araa yang diuji kemampuannya memandu. Lagi-lagi penguasaan lokasi menjadi kendala, selain teknik penyampaian yang belum terasah. Sepertinya, mahasiswa merasa cukup dengan penguasan materi dari buku atau internet, tanpa pengenalan lapangan. Padahal Pak Sobirin selalu memberi kesempatan kepada mereka untuk segera mengenali objek ketika bis berhenti di lokasi. Namun tetap saja hal ini dianggap enteng. Dan tergagap-gagap lah mereka ketika harus menjelaskan.

Seperti biasa, Pak Sobirin langsung mengambil alih untuk memandu, beberapa detik setelah Araa mengakhiri materinya. Sebagai seorang master gaed beliau sangat menguasai objek, detil dan mendalam. Semuanya teruraikan dengan jelas. Bahkan kami pun digiring ke objek lain yang berara beberapa puluh meter ke barat. Rupanya di sana terdapat dua buah arca dwarapala, dua patung penjaga gerbang yang cukup besar dan tinggi, namun sayang terlihat kurang terawat.

Usai mengunjungi candi Singhasari dan Arca Dwarapala, kami pun makan siang di emperan luar candi. Sangat sayang memang, nasi ayam dan sayur asep yang begitu nikmat terpaksa menjadi kurang sedap, karena disajikan dengan bungkusan karena keterlambatan kami tiba di rumah makan akibat macet di Porong. Tapi karena benar-benar laper, semuanya pun habis disikat tanpa sisa, kecuali tumpukan sampah yang kami titipkan kepada tukang parkir di sana.

Gunung Kawi
Selesai makan, kami pun bergerak ke objek berikutnya Gunung Kawi. Gunung Kawi? Pasti banyak yang bertanya, mengapa ke sana? Bukan kah tempat itu terkenal sebagai tempat pesugihan? Apa hubungannya dengan pariwisata? Awalnya saya juga bertanya demikian. Namun setelah mendapat gambaran yang cukup mencengangkan dan mendatangi langsung lokasi tersebut barulah saya mengerti bahwa seorang tour guide juga harus tahu daerah ini. Pak Sobirin, sebagai masternya di dunia guide yang kami punyai menjelaskan sepanjang perjalanan tentang sejarah Gn. Kawi. Beliau mengawalinya dengan pernyataan bahwa Gn. Kawi itu merupakan sumber pendapatan masyarakat sekitar dan pemda yang cukup tinggi. Setiap tahunnya milyaran rupiah rupiah uang beredar dari usaha jasa pariwista di sana. Mulai dari penginapan, restoran, tiket masuk, suvenir, jasa parkir, jasa gaet, dan lain-lain. Selain itu, manajemennya pun cukup rapih. “Hampir-hampir tidak ada persaingan yang tidak sehat sesama pengusaha jasa di sana.” Tambah Pak Sobirin. “Mereka punya standar pelayanan yang jelas, dan patokan harga yang sama.”

Lalu mengenai pesugihan, Mas Birin (Pangilan akrab beliau) menjelaskan bahwa dia pernah bertanya kepada satpam di lokasi pesarean (makam), “Sudah berapa lama sampean kerja jadi satpam?” Tanyanya. “Hampir 20 tahunan, Mas.” Jawab satpam itu. “Terus kenapa sampean tidak ke pesugihan aja supaya kaya dan tidak jadi satpam lagi?” Tanya mas Birin menyelidik. Dengan gampangnya satpam itu menjawab,”Kalo memang bener ada pesugihan itu, sudah dari dulu saya berhenti jadi satpam, Mas.”

Azan Magrib menyambut kami di Gn. Kawi. Bis langsung parkir di lokasi parkir yang cukup luas. Kami pun langsung di sambut oleh supir angkot setempat yang memang sudah dicarter untuk mengantar kami ke penginapan. Tidak begitu jauh memang lokasinya, untuk mempersingkat waktu dan mengurangi kelelahan kami harus menggunakan angkot tersebut. Tiba di penginapan Central kami pun langsung masuk ke kamar masing-masing, mandi, sholat, makan malam dan siap-siap menuju objek.

Sebelum berangkat menuju objek Mas Birin memberi pengarahan terlebih dahulu, terutama apa yang boleh atau harus mereka laku dan yang dilarang, berhubung objek yang akan dikunjungi dianggap keramat oleh sebagian orang. Keramat atau pun tidak, sebenarnya, yang namanya berkunjung ke daerah orang lain kita harus menjunjung kesopanan, karena pada prinsipnya kita pun akan marah ketika ada yang bertamu ke daerah kita tapi tidak sopan.

Objek yang bisa dikunjungi di Gn Kawi ini ada berapa, seperti masjid Agung Iman Sujono, Rumah peninggalan Mbah Djoego,Klenteng Dewi Kwan In, Ciam Si, dan puncaknya Pesarean (makam) Mbah Djoego dan muridnya. Semua objek tersebut berada di sepanjang jalan bertangga menuju Pesarean yang kiri kanannya berjajar toko-toko suvenir, peralatan sembahyang orang Cina, warung makan, dan lain-lain.

Lokasi yang pertama ramai dikunjungi peserta adalah Ciam Si, sebuah bangunan Cina tempat meramal nasib. Tempat ini dijaga seorang bapak berpakaian jawa, lengkap dengan blangkonnya. Beliau duduk di samping pintu masuk dan di depannya terdapat meja dengan botol-botol berisi minyak lilin yang dijual kepada pengunjung 10 ribu rupiah perbotol kepada pengunjung yang mau menyiramkannya ke lilin-lilin suci di dalam. “Itu cuma buat yang mau saja, sukarela, tidak mau yang ndak apa-apa.”Kata Bapak tadi, ketika ditanya apa harus membeli minyak itu. Sementara di bagian dalam terpampang meja panjang dengan hiasan khas Cina. tiga mangkuk lilin cair yang cukup besar, tempat menuangkan minyak lilin yang dibeli di depan. Di belakangnya banyak hiasan-hiasan lain dengan latar sepeti pelaminan berwarna putih dan ukiran-ukuran berwarna emas dan merah khas Cina. Selain itu di depan lilin-lilin tadi terdapat  beberapa bambu bulat sepeti gelas dan di dalamnya terdapat potongan-potongan bambu kecil bertuliskan nomor-nomor, yang ternyata digunakan untuk meramal nasib. Dan mahasiswa-mahasiswa itu pun mencobanya.

Setelah mengocok-gocok agak lama keluarlah sepotong bambu dengan tulisan cina dan nomor tadi. Selanjutnya dibawa ke seorang bapak yang duduk di bagian kiri meja panjang tadi dan di sebelah kanannya terdapat rak berisi kertas potongan warna-warni bernomor. Dialah sang penafsir ramalan itu. Sepotong bambu tadi ditukar dengan kertas ramalan yang terdiri dari 4 baris kalimat yang satu dengan lainnya tidak nyambung. Tapi Bapak penafsir tadi dengan yakinnya menafsir setiap kertas milik masing-masing orang. Di sini banyak diantara mahasiswa yang bingung dengan apa yang terjadi, dan Mas Birin dan Bang Dede pun berusaha meluruskan dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi ketika perjalanan pulang dari Gn. Kawi.

Berlanjut ke bagian atas terdapat pesarean (makam). Cukup ramai ternyata lokasi itu  oleh para peziarah. Dan yang aneh dan menjadi pertanyaan, mengapa banyak sekali orang Cina yang berziarah? Ternyata oh ternyata, mereka datang bukan karena Mbah Djugo yang dianggap keramat oleh orang-orang sekitar, tapi karena di samping makam Mbah Djugo terdapat makam muridnya yang ternyata adalah orang Cina. Jadi mereka ternyata datang karena menghormati leluhurnya itu. Mbah Jogo sendiri adalah salah satu murid dan pengawal Pangeran Diponegoro, yang kemudian tinggal di daerah itu, menyebarkan Islam dan meninggal di sana.

Nuansa mistis sangat terasa di lokasi itu. Suasana yang sahdu di sekitar makam, ditambah bau asap kemenyan dan orang-orang yang melakukan upacara penghormatan ala jawa (kalau tidak mau di sebut penyembahan) terhadap makam Mbah Jugo, di samping ada yang berdoa secara Islam, dan Cina. Di lokasi itu juga terdapat mata air suci,yang konon katanya sama dengan air zam-zam. Selain itu ada sebuah pohon …. yang lagi-lagi katanya membawa berkah dan rezeki bagi orang yang berhasil mendapatkan daunnya yang jatuh dengan sendirinya.

Masuk ke lokasi makam yang terletak di dalam ruangan dengan karpet merah. Peziarah masuk dengan membawa kembang untuk ditebar di makam, dengan beberapa kali penghormatan dan akhirnya dipersilahkan menebarkan kembang di makam yang kemudian diberi kembang layu oleh kuncen yang katanya mengandung berkah.

Hal aneh yang saya rasakan secara pribadi ketika berada di lokasi sekitar makam adalah rasa pusing yang kuat di bagian belakang kepala, mirip ketika berada di bawah jaringan listrik tegangan tinggi (SUTET) dan rasa itu semakin kuat ketika saya mendekati pintu utama ruang makam. Dan anehnya lagi, seorang kuncen menghampiri, dan dengan sopan bertanya dari mana. Namun baru menjawab dari Jakarta, saya harus mengikuti para peserta mengawal mereka mengelilingi lokasi makam. Ketika tiba di tempat semula, sang Kuncen tadi berusaha menghampiri lagi, namun tidak sampai bertemu kami harus turun dan menyudahi kunjungan kami. Dan anehnya, keluar dari lokasi makam, rasa pusing itu pun hilang begitu saja. (Mabuk kemenyan kali saya… he he he).

Bersambung.

Posted Sabtu, 10 Juli 2010 by FAS in Artikel, Berita, budaya, Jalan-jalan, Pendidikan, Sejarah

1 responses to “Supir Truk, Candi Singhasari dan Gunung Kawi

Subscribe to comments with RSS.

  1. teng kiyu pa atas ilmu nyeee
    makin seneng dah kita ngoprak ngaprik blog nih

Tinggalkan komentar